A. ETIKA DALAM BERPRODUKSI
Ipaya produsen
untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen
mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi
terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang Islami, sebagaimana dalam
kegiatan konsumsi. Sejak dari kegiatan mengorganisasian faktor produksi, proses
prodksi, hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus
mengikuti moralitas dan aturan teknis yang dibenarkan oleh Islam. Metwally
(1992) mengatakan, “perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya
pada tujuan, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi
pasarnya.”
Nilai-nilai
Islam yang relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama ekonomi
Islam, yaitu: khilafah, adil dan takaful. Secara lebih rinci nilai-nilai Islam
dalam produksi meliputi:
1. Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan
akhirat;
2. Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau
eksternal;
3. Memenuhi takaran, ketetapan, kelugasan, dan kebenaran;
4. Berpegang teguh kepada kedisplinan dan dinamis;
5. Memuliakan prestasi/produktivitas;
6. Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;
7. Menghormati hak milik individu;
8. Mengikuti syarat sah dan rukunakad/transaksi;
9. Adil dalam bertransaksi;
10. Memiliki wawasan sosial;
11. Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam
Islam.
Penerapan nilai-nilai di atas dalam produksi tidak saja
akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus mendatangkan
berkah yang diperoleh oleh produsen merupakan satu mashlahah yang akan member
kontribusi bagi tercapainya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan
memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga
di akhirat.[1]
Produksi lahir dan tumbuh dari “perkawinan” manusia dengan
alam. Karena itu, Allah menggandengkan keduanya, ketika ia berfirman:
“Sesungguhnya Aku
jadikan di bumi ini khalifah…” (al-Baqarah: 30)
Firman-Nya:
“Dialah yang
menjadikan kamu sekalian khalifah-khalifah di muka bumi…” (Fathir: 39)
Firman-Nya:
“…Dialah yang
menciptakan kamu dari tanah, dan menyuruh kamu sekalian memakmurkannya…”(Hud:
61)
Bumi (tanah adalah) lapangan dan medan, sedangkan manusia
adalah pekerja yang giat dan
sungguh-sungguh. Apa yang diungkapkan para ekonom tentang modal dan sistem
tidak keluar dari unsur kerja. Sistem atau aturan tiada lain adalah merupakan
hasil dari kerja. Modal adalah kerja yang disimpan. Atas dasar itu kita
menyatakan bahwa unsur yang paling penting dan rukun yang paling besar dalam
proses produksi adalah amal usaha, dengannya bumi diolah dan dikeluarkan segala
kebaikan dan kemanfaatannya sehingga menghasilkan produksi yang baik.
Nilai-nilai penting dalam bidang produksi setelah nilai
bekerja, adalah ihsan(baik) dan
jihad(bersungguh-sungguh) dalam bekerja. Islam tdak semata-mata memerintahkan
bekerja, tetapi bekerja dengan baik. Hendaknya seorang muslim ihsan dalam bekerja dan dilaksanakan
dengan penuh ketekunan dan kesungguhan .
Ihsan dalam
bekerja bukan perkara sunnat, bukan keutamaan, bukan pula urusan sepele dalam
pandangan Islam, tetapi suatu kewajiban agama yang diwajibkan bagi setiap
muslim.
Di dalam sebuah hadits shahih
dikemukakan:
“Sesungguhnya Allah
mewajibkan ihsan (baik) dalam segala hal. Jika kalian membunuh (hewan), maka
bunuhlah dengan baik. Jika menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik.
Hendaknya seseorang di antara kamu menajamkan pisaunya dan mengistirahatkan sembelihannya”.
(HR Muslim dari haadits Syaddad bin Aus (1955))
Hadits tersebut mempergunakan kata-kata “kataba” yang
berarti fardhu yang kuat dan sangat ditekankan. Kata ini dipergunakan dalam
al-Qur’an, seperti firman-Nya:
“… telah diwajibkan
puasa bagi kamu, sebagaimana telah diwajibkan pada orang-orang sebelum kamu…”.
(al-Baqarah: 183)
“… telah diwajibkan
kepada kamu sekalian qisas dalam hal orang yang dibunuh…”. (al-Baqarah:
178)
Barangsiapa yang menyia-nyiakan ihsan di dalam bekerja,
maka sungguh ia telah menyia-nyiakan kewajiban agama, suatu kewajiban bagi
hamba-Nya yang mu’min. Rasulullah bersabda:
“sesungguhnya Allah
mencintai jika seseorang melakukan sesuatu pekerjaan hendaknya secara itqan
(professional)”. (HR Baihaqi)
Juga sabdanya:
“Sesungguhnya Allah
mencintai orang yang bekerja, apabila bekerja ia melakukannya secara ihsan”.
(HR Baihaqi)
Bahkan al-Qur’an tidak cukup menyuruh manusia untuk beramal
yang baik saja, tetapi menyuruh manusia untuk beramal yang terbaik. Inilah yang
dapat kita perhatikan secara jelas dalam tuntutan mengembangkan harta anak
yatim. Al-Qur’an melarang mendekatinya kecuali dengan jalan yang terbaik, yaitu
menjaganya pada satu sisi dan melakukan pengembangan pada sisi yang lain. Allah
berfirman:
“Janganlah kalian
mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik, sehingga sampailah
anak itu pada usia dewasanya…”(al-An-aam: 6)
Wasiat ini diulang-ulang dengan kata-kata yang sama dalam
al-Qur’an dalam dua surat, yaitu, surat al-An’aam dan surat al-Israa’.
[1] Pusat Pengkajian Dan
Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI).2007. Ekonomi Islam . Jakarta:Rajawali Pers