Sabtu, 23 Maret 2013

Masih Coba-coba



A.    ETIKA DALAM BERPRODUKSI
Ipaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang Islami, sebagaimana dalam kegiatan konsumsi. Sejak dari kegiatan mengorganisasian faktor produksi, proses prodksi, hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti moralitas dan aturan teknis yang dibenarkan oleh Islam. Metwally (1992) mengatakan, “perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuan, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.”
Nilai-nilai Islam yang relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama ekonomi Islam, yaitu: khilafah, adil dan takaful. Secara lebih rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi:
1.      Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan akhirat;
2.      Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3.      Memenuhi takaran, ketetapan, kelugasan, dan kebenaran;
4.      Berpegang teguh kepada kedisplinan dan dinamis;
5.      Memuliakan prestasi/produktivitas;
6.      Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;
7.      Menghormati hak milik individu;
8.      Mengikuti syarat sah dan rukunakad/transaksi;
9.      Adil dalam bertransaksi;
10.  Memiliki wawasan sosial;
11.  Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12.  Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam.

Penerapan nilai-nilai di atas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus mendatangkan berkah yang diperoleh oleh produsen merupakan satu mashlahah yang akan member kontribusi bagi tercapainya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat.[1]
Produksi lahir dan tumbuh dari “perkawinan” manusia dengan alam. Karena itu, Allah menggandengkan keduanya, ketika ia berfirman:
Sesungguhnya Aku jadikan di bumi ini khalifah…” (al-Baqarah: 30)
Firman-Nya:
Dialah yang menjadikan kamu sekalian khalifah-khalifah di muka bumi…” (Fathir: 39)
Firman-Nya:
“…Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, dan menyuruh kamu sekalian memakmurkannya…”(Hud: 61)
Bumi (tanah adalah) lapangan dan medan, sedangkan manusia adalah pekerja yang giat  dan sungguh-sungguh. Apa yang diungkapkan para ekonom tentang modal dan sistem tidak keluar dari unsur kerja. Sistem atau aturan tiada lain adalah merupakan hasil dari kerja. Modal adalah kerja yang disimpan. Atas dasar itu kita menyatakan bahwa unsur yang paling penting dan rukun yang paling besar dalam proses produksi adalah amal usaha, dengannya bumi diolah dan dikeluarkan segala kebaikan dan kemanfaatannya sehingga menghasilkan produksi yang baik.
Nilai-nilai penting dalam bidang produksi setelah nilai bekerja, adalah ihsan(baik) dan jihad(bersungguh-sungguh) dalam bekerja. Islam tdak semata-mata memerintahkan bekerja, tetapi bekerja dengan baik. Hendaknya seorang muslim ihsan dalam bekerja dan dilaksanakan dengan penuh ketekunan dan kesungguhan .
Ihsan dalam bekerja bukan perkara sunnat, bukan keutamaan, bukan pula urusan sepele dalam pandangan Islam, tetapi suatu kewajiban agama yang diwajibkan bagi setiap muslim.
Di dalam sebuah hadits shahih dikemukakan:
Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan (baik) dalam segala hal. Jika kalian membunuh (hewan), maka bunuhlah dengan baik. Jika menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya seseorang di antara kamu menajamkan pisaunya dan mengistirahatkan sembelihannya”. (HR Muslim dari haadits Syaddad bin Aus (1955))
Hadits tersebut mempergunakan kata-kata “kataba” yang berarti fardhu yang kuat dan sangat ditekankan. Kata ini dipergunakan dalam al-Qur’an, seperti firman-Nya:
“… telah diwajibkan puasa bagi kamu, sebagaimana telah diwajibkan pada orang-orang sebelum kamu…”. (al-Baqarah: 183)
“… telah diwajibkan kepada kamu sekalian qisas dalam hal orang yang dibunuh…”. (al-Baqarah: 178)
Barangsiapa yang menyia-nyiakan ihsan di dalam bekerja, maka sungguh ia telah menyia-nyiakan kewajiban agama, suatu kewajiban bagi hamba-Nya yang mu’min. Rasulullah bersabda:
“sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan sesuatu pekerjaan hendaknya secara itqan (professional)”. (HR Baihaqi)
Juga sabdanya:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bekerja, apabila bekerja ia melakukannya secara ihsan”. (HR Baihaqi)
Bahkan al-Qur’an tidak cukup menyuruh manusia untuk beramal yang baik saja, tetapi menyuruh manusia untuk beramal yang terbaik. Inilah yang dapat kita perhatikan secara jelas dalam tuntutan mengembangkan harta anak yatim. Al-Qur’an melarang mendekatinya kecuali dengan jalan yang terbaik, yaitu menjaganya pada satu sisi dan melakukan pengembangan pada sisi yang lain. Allah berfirman:
“Janganlah kalian mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik, sehingga sampailah anak itu pada usia dewasanya…”(al-An-aam: 6)
Wasiat ini diulang-ulang dengan kata-kata yang sama dalam al-Qur’an dalam dua surat, yaitu, surat al-An’aam dan surat al-Israa’.





[1] Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam  (P3EI).2007. Ekonomi Islam . Jakarta:Rajawali Pers