Senin, 22 Juli 2013

Surat Cinta Untuk Calon Istriku - via NN"

Duhai wanitaku, saat kau sudah menggenapkan agamaku nanti, sesudah kau amini Al-Fatihahku yang pertama kali..
Setelah pertama kalinya kau cium tanganku selepas sholat, aku ingin saat itu kau selalu jadi pengingatku..
Aku hanya manusia yang terkadang lupa, sering melakukan salah, dan laki-laki yang tak peka seperti wanita.
Sekali kau memohon: ‘Maukah kau lakukan itu untukku?’ Demi apapun, apalah arti dunia jk aku mlihat air matamu. Kan kulakukn spenuh hatiku
Tak akan kubiarkan kau dan anak-anak kita kelaparan dan kehausan, kupastikan kalian tak akan pernah kekurangan cinta & kasih sayangku.
Duhai calon istriku.. Kalau boleh aku meminta.. Aku menginginkan putri yang menjadi buah hati kita yang pertama..
Kita didik ia menjadi anak yang shalehah, dan kan kutanam sekeping jiwamu pada dirinya.
Agar apabila nanti kau dipanggil lebih dulu oleh Pemilikmu yang sebenar – benarnya, aku masih bisa melihat kamu dalam diri putri kita.
Dan aku ingin putra kita hanya terpaut satu tahun dengan kakaknya. Agar ia bisa tumbuh dewasa bersama saudari kandungnya
Dan akan kutempa dia agar menjadi pria yang kuat, bahkan melebihi aku...
Agar apabila nanti aku yg kembali lebih dulu ke sisiNya, ia bisa menjaga ibu & kakaknya sperti yg tlah kulakukan & kuajarkan kepadanya.
Manis, saat aku resmi menjadi suamimu nanti.. Tak kan kulewatkan pagi tanpa mengecup keningmu yang harum..
Dan tak akan kulewatkan pula detik berharga sebelum kau memejamkan mata, kembali kan kuletakkan cinta di kening atau pipimu.
Aku tak akan bosan menciummu setiap hari, sayang. Seperti halnya nabi yg tak pernah bosan melakukan hal romantis ini kepda istrinya..
Sayang percayalah... aku akan selalu mencintaimu di tiap waktuku...
Aku akan tetap menciummu, meski pipimu tak lagi sekencang dulu, meski keriput tlah menggarisi keningmu..
Aku akan tetap membelai rambutmu, meski putih telah memakan habis hitamnya yang indah..
Aku akan tetap memelukmu, meski bungkuk badanmu dan ringkih tubuhmu, aku akan tetap memelukmu... :')
Berjanjilah cinta, apabila tiba saatnya Izrail memamerkan surga dan neraka di kedua sayapnya di hadapanku....
 angan pernah berhenti bisikkan nama Allah di telingaku, jangan pernah kau lepas genggaman tanganku..
Dan jgn dulu jatuhkn air matamu sblm malaikat benar2 mncabut ruh dr ragaku. Sdh kubilang: Apalah arti dunia jika aku melihat air matamu.
Tenanglh kasih, batu nisan memang akan pisahkn dunia kita nanti, tp dia takkn mampu pisahkn cinta kita. Aku mncintaimu tak hnya di dunia
 Smoga Allah mengabulkn doa ditiap sujudku, agar pernikahan kita tak hnya dilanggengkn di dunia, tp jg diabadikn ditaman surgaNya. Aamiin

copas of twitter

Sabtu, 22 Juni 2013

Cerita Inspirasi

... KISAH MENYENTUH, .."KETIKA MAS GAGAH PERGI" ...

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Maaf sebelumnya Sahabat semua kisah kali ini panjaang sekali .. tapi bagus dan sangat menyentuh .. insya Allah ...
-----

Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih.

Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman.

Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”

“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!”

“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?”

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?

“Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…”Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

“Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

“Assalaamu’alaikum!”seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

“Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.

“Matiin kasetnya!”kataku sewot.

“Lho memangnya kenapa?”

“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.

“Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!”

“Bodo!”

“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar.”

“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”

“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”

“Pokoknya kedengaran!”

“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!”

“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?”

“Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam.

Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku.

Ujung-ujungnya “Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!”

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

“Penampilanmu kok sekarang lain Gah?”

“Lain gimana Ma?”

“Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”

Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino.” Komentarku menyamakannya dengan supir kami. “Untung aja masih lebih ganteng.”

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?”

“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!”

“Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. “Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?”

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku.”Baca!”

Kubaca keras-keras. “Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim.”

Mas Gagah tersenyum.

“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.

“Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?” Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya dik manis?”

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian.

Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

“Mau kemana Gita?”

“Nonton sama temen-temen.” Kataku sambil mengenakan sepatu.”Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya.”

“Ikut Mas aja yuk!”

“Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!”

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu.

Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

“Assalamualaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.

Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

“Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?”tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt.”

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!

“Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!” Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

“Ikhwan?’ ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

“Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita.” Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

“Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham.”

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

“Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, ” ujar Tika tiba-tiba.

“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin.” Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.

“Mbak Ana?”

“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

“Hidayah.”

“Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!”

“Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!” tegurku ramah.

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

“Dari rumah Tika, teman sekolah, “jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?”tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

“Cuma lagi baca!”

“Buku apa?”

“Tumben kamu pingin tahu?”

“Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?”desakku.

“Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. “Nih!”serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.

“Naah yaaaa!”aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku “Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam” itu.

“Maaas…”

“Apa Dik Manis?”

“Gita akhwat bukan sih?”

“Memangnya kenapa?”

“Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…” tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya.

Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“Mas kok nangis?”

“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit.”

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

“Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

“Gita capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.

“Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”

“Tenang aja. Gita ngerti kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.

“Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah.

Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.

Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.

“Nyoba pakai jilbab. Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama.”

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

“Gita mau tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.

Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.

“Ini hidayah, Gita.” Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

“Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

“Lho! ” Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, “Hei itu kan Mas Gagah-ku!”

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas.

Aku sempat bingung, “Lho Mas Gagah kok bisa sih?” Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.

“Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, ” kata Mas Gagah.

Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.

Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

“Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.

“Mas Gagah belum pulang. “kata Mama.

“Yaaaaa, kemana sih, Ma??” keluhku.

“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”

“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. “

“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini.” Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.

“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..” hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

“Nginap barangkali, Ma.” Duga Papa.

Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa.”

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

“Kriiiinggg!” telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,”Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?”

“Ada apa, Pa.” Tanya Mama cemas.

“Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…” suara Papa lemah.

“Mas Gagaaaaahhhh” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.

” Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini.” Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku. “Sabar sayang, sabar.”

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?” Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…” bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga.”

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi..”

“Gita…” suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah.” Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.

“Mas…ini Gita Mas..” sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.

Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.”

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

“Dzikir…Mas.” Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

“Gi..ta…”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matanya terbuka.

“Aku tersenyum.”Gita…udah pakai…jilbab…” kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

“Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.

Epilog: ...

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.

“Mas, Gita akhwat bukan sih?”

“Ya, insya Allah akhwat!”

“Yang bener?”

“Iya, dik manis!”

“Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!”

“Kok nanya gitu sih?”

“Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?”

“Ganteng kan?”

“Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?” Jihad itu apa sih?”

“Ya always dong, jihad itu…”

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!

... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...

~ o ~

Semoga bermanfaat dan Penuh Kebarokahan dari Allah ...

Bismillah.. Gabung Yuk di Fp ini : Strawberry untuk membaca kisah haru : "PROSES KEMATIAN DAN HANCURNYA TUBUH KITA"

Like This --> Ayoo remaja islam bangkitlah

Insya Allah bermanfaat

Jumat, 21 Juni 2013

Jodoh Tidak Akan Tertukar

Aminkan Doa ini.
"AGAR ALLAH MEMBERIKAN KITA JODOH TERBAIK"

Ya Allah..
Dzat Yang Menguasai Setiap Hati.
Jika memang dia bukan bagian dari tulang rusuk hamba.
Jangan biarkan hati ini merindukan kehadirannya.
Bantu hamba agar tidak memasukkan dia ke dalam pikiran dan hati hamba.
Tundukkanlah pesonanya dari pelupuk mata hamba.
Jangan biarkan dia mengukir dirinya di sudut hati hamba.
Gantilah kerinduan dan keinginan yang membelenggu ini dengan kasih sayang-Mu.
Yang murni dan meliputi semua makna dalam Ar Rahim-Mu.
Bantu hamba agar dapat mengasihinya sebagai saudara seiman yang diikat tali ukhuwah.

Ya Allah..
Jika Engkau memang menciptakannya buat hamba.
Tolong satukan hati kami.
Bantu hamba untuk mencintainya.
Tanpa melebihi cinta hamba kepada-Mu, Rasul Mulia-Mu dan Jihad di Jalan-Mu.

Ya Allah..
Anugerahkan hamba kesabaran, niat tulus dan kebulatan tekad untuk memenangkan hatinya.
Selimuti juga dirinya dengan kasih sayang-Mu yang Maha Luas.
Agar mampu mengerti dan menerima hamba.
Belajar saling melengkapi kekurangan, dan bertahan dalam kebaikan.
Tumbuhkan keyakinan bahwa kami ikhlas berbagi suka dan duka.
Semata dalam bingkai harapan akan Ridha-Mu.

Ya Allah..
Ajari hamba agar makin dekat kepada cinta-Mu.
Tuntun langkah hamba menuju cahaya-Mu yang Abadi.
Ajarkan hamba kesabaran dan kesetian kepada syariat-Mu.
Selama masa penantian ini.
Sampai saat yang Engkau tetapkan tiba waktunya.

Amin Ya Rabbal 'Alamin.

By: Anggun ßeгhіjαb Cαntik ßeгjіlbαb

Opini Masuk Koran



Penghargaan Tidak Berbanding Lurus Dengan Kesejahteraan

Miftahu Rahmah
Mahasiswi IAIN Antasari Banjarmasin
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam 
Versi Kalimantan Post
Jum'at, 21 Juni 2013



Akhir Mei lalu Presiden Indonesia mendapatkan penghargaan World Statesman Award dari organisasi nirlaba Appeal of Conscience Foundation (ACF).
Mendapatkan perhargaan berarti berhasil melakukan yang terbaik, sebagai pemimpin berarti mampu menjaga kesejahteraan rakyat. Namun kenyataannya, pada 2 Januari 2013, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data kemiskinan terbaru di negara kita.
Menurut BPS, jumlah penduduk miskin per September 2012 mencapai 28,59 juta orang (11,66 persen), menurun dibanding Maret 2012 yang tercatat 29,13 juta orang (11,96 persen). Atau terjadi penurunan sebesar 0,54 juta atau 540.000 orang.  
Kita masih bersyukur, karena presentase kemiskinannya menurun dari tahun sebelumnya. Tapi masih banyak juga warga negara Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, sudah miskin di bawah pula, berlipatganda melaratnya.
Melarat paling parah yang dialami saat ini adalah melarat kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya sendiri. Kepercayaan yang diberikan rakyat disalahgunakan oleh pemerintah, padahal pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Contohnya banyak, dari kasus korupsi, kenaikkan harga yang tidak cepat ditangani, kekerasan, dan masih banyak lagi. Timbul pertanyaan apakah ada permainan politik di belakang penghargaan ini. 
Salah satu penyebab krisis kepercayaan ini, terlihat jelas dari ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia, karena sumber daya ekonomi yang tidak dialokasikan secara merata untuk masing-masing kota. Diakui pertumbuhan ekonomi di setiap kota berbeda, tentunya porsi pendapatannya pun berbeda. Namun apabila pemerintah memperhatikan dan mendukung wilayah tersebut dalam modal tentunya memberikan kepercayaan dan tanggungjawab tersendiri bagi wilayah itu untuk meningkatkan perekonomian.  
Setiap warga negara memilki hak dan kesempatan yang sama untuk diperlakukan secara adil baik oleh negara maupun oleh sesama masyarakat. Prinsip keadilan yang harus diperankan oleh negara terhadap masyarakat meliputi seluruh sektor kehidupan, mulai dari agama, pendidikan, kesehatan, hukum, politik, hingga ekonomi. Secara tegas, Allah SWT menerangkan perintah untuk berlaku adil dan dampaknya jika keadilan tidak ditegakkan, yakni perbuatan keji dan permusuhan akan terjadi di antara masyarakat (QS. An-Nahl [16]). 
Pendidikan di kota dan di daerah terpencil sangat berbeda jauh. Orang kota banyak fasilitas mendukung sedangkan daerah terpencil perlu jalan kaki berkilometer untuk mendapatkan ilmu. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka di atas jembatan yang reok, jika hujan deras mereka terpaksa berbasah-basahan demi ilmu. Dimana peran pemerintah, dimana yang patut “dihargai” ?. Padahal banyak bibit-bibit prestasi yang mampu mengharumkan nama negara di mata dunia yang butuh perhatian penuh oleh pemerintah seperti yang dilakukan Prof. Yohanes Surya PhD yang mampu mengantarkan anak-anak “bodoh dari papua” menjadi anak-anak peraih medali emas terbanyak. 
Banyak anak-anak pintar dan berprestasi yang telah mengharumkan nama bangsa di kancah dunia di abaikan. Ketika di ambil negara lain dan sukses, memohon-mohon agar mereka kembali, ketika kembali mereka malah tidak memberikan fasilitas yang baik. Masalah inipun terjadi juga di sektor kehidupan lainnya. Pemerintah tidak memanfaat apa-apa yang sudah ada di Indonesia, mereka malah menyibukkan diri dengan kepentingan diri masing-masing. 
Peran dan fungsi pemerintah harus ditegakkan, terutama dalam fungsi alokasi yang tepat sasaran, fungsi distribusi yang adil dan merata, dan menjaga fungsi stabilisasi dengan baik dan benar. Jiwa kerakyatannya harus di tingkatkan, dengan terjun langsung di kehidupan masyarakat pedesaan.  
Semoga dengan adanya penghargaan ini pemerintah termotivasi untuk menjalankan tugasnya lebih baik. Kepercayaan antar pemerintah dan rakyat semakin erat demi terciptanya kesejahteraan. Wallahu’alam..




Minggu, 02 Juni 2013

Cerita Antik

Salam...


Hari ne abah dtg, biasa mnjenguki anak, msh hidup kh kada,hehe
lanjut.. ke tmpat yg biasa kami dtgi, ke trisakti.. abah bnyak bekisah aja, kd tau org tu udh bosan kh kd, yg penting ad yg mndengar..
terus perjlnan d lnjutkan ke mesjid Sabilal Muttadin.. kd ane tdk bs beribadah, mknya ane hunting,hehe
setelh selsai, kmi mncri tmpat makn.. ketika mnuju parkiran ane bepapasan sma anak laki-laki yg super duper keren (d lihat dr kcmta ane).. awalnya biasa aja, sma dgn anak laki-laki seumuran biasanya lah.. tapi pas udh d parkiran, Gila.. motornya Keren bgt.. Ninja Kawasaki Merah bo dgn plat 5294 WB.. yg tambah kerennya lg Dia Shalat Dzuhur tepat waktu berjamaah pula.. super duper keren keren dah.. klo saya mah liat kerennya dgn dunia kesendirian dia, dgn gayanya yg keren, bwa tas spertinya sih tas utk kertas lukisan gtu.. klo d liat gyanya spertinya dia berkecimpung d dunia arsiktektur gtu deh.. 
o iya ad juga, ketika mnunggu abah, ane memutuskan nongkrong d bawah pohon (eits.. gw kaga ngapangapain ya.. hehe) . ane langkahkan kaki ini, tiba-tiba langkah ini berhenti n senyum ini pun berkumandang (hehe.. kehabisan bendahara kata) meliat keluarga SAMARA (d liat dr kcmt ane) anak-anak perempuannya yg kira-kira msh sekolah SD udah pke jubah n bercadar, SUBHANALLAH.. klo ummi nya mah kga ush dikata lg, udh pasti bercdar pula.. anak laki-lakinya pake gamis cwo, klo Abi nya yaiyalah juga.. sepertinya mereka bru dtg dr timur tengah yg mencoba mengenang kmpung hlman yg sudh lma d tinggal..  jd pingin merskan kebhagiaan yg mereka rsakan.. Ya Allah izin kn hamba memiliki keluarga yg SAMARA d jalan n Engkau Ridloi Ya Allah.. Aamiin..



Nias (Miftahurrahmah) Kunci Rahmah 
Inas Sensasi Uap.. ya.. itu lah nama yg d keluarkan oleh seorang dosen kepada ane, dosen yg sangat ane kagumi. pintar bangt beliau, sperti perpustkaan n Al-Qur'an berjlan. tapi sayang.. beliau blum mnemukan pendmping hidup, kata beliau sich jika sudah ad kenyamanan kenpa tidak.. Mudahan-mudahan seceptnya ya pak.. cara penyampaian beliau ktk ngajar beda bnget, beliau ttp tersenyum ikhlas mskipun pertnyaan beliau susah d jangkau mahasiswanya sperti ane ini..
Tidak beliau sja yg mmberikan julukan kpd ane, ane pun mmberikan julukan kpd beliau yaitu: Dosen Terantik.. kata ini terinpirasi dr seorg saudra, klo Antik itu jarang ad, sush mndptkannya, mahal bgt pula. Ya... begtulah.. beliau jarang ada, bru ktmunya d akhir smster, n pintar BGT.. hehe
saking antik nya itu, beliau bertnya jawab sendiri n tersenyum ikhlas menydri ke Antikkan beliau itu.. hmm.. bpk-bpk.. ad juga beliau mnjuluki drinya haji kuadrat,haha..
sedikit cerita dosen terantik ane..

Rabu, 29 Mei 2013

Kisah Inspirasi BGT

*Kisah pengemis dan jual beli kambing

(I) Kisah pengemis

Orang2 pasti tahulah cerita, ketika Abu Bakar bertanya pada Aisyah anaknya, kira-kira sunnah Rasul apa yang belum dia kerjakan sepeninggal Rasul wafat. Kata Aisyah, ada satu, Rasul Allah setiap pagi memberi makan seorang pengemis buta yang duduk di ujung pasar. Abu Bakar mengangguk, maka dia datang menemui pengemis buta itu.

Nah, pengemis ini, saat Abu Bakar beranjak ke dekatnya, memberikan makan, langsung bertanya marah, "Siapakah kamu?"

Abu Bakar menjawab, "Aku orang yang biasa."

Pengemis buta ini bilang, sambil marah, "Kamu bukan orang yang biasa. Orang yang biasa memberi aku makan, selalu menyuapkan makanan kepadaku, makanannya juga dihaluskan terlebih dahulu."

Maka Abu Bakar sambil menangis menjelaskan, kalau dia memang bukan orang yang biasanya. Orang yang dimaksud oleh pengemis itu, Rasul Allah, sudah meninggal beberapa hari lalu.

Nah, cerita ini menjadi amat mengharukan, karena pengemis ini, maaf, sudah miskin, maaf, jelek, maaf, buta, selama ini kasar sekali kepada Rasul Allah. Dia suka bilang ke orang2 yang memberinya, bilang kalau Muhammad itu tukang sihir, tukang bohong. Tidak terbilang kebencian kalimatnya. Tidak terbilang fitnah, hinaan, makian dia berikan kepada Rasul Allah, tanpa tahu sedikit pun bahwa orang yang memberinya makan, menyuapinya, justeru adalah Rasul Allah sendiri.

Ah, kalian pasti tahu semua kisah ini.

Tapi kenapa saya menulis catatan ini, karena saya memahami kisah ini dengan cara yang amat berbeda. Itu benar, kisah ini sungguh tentang rasa sabar milik Nabi, teladan tiada tara, berkilau indah menerangi semesta alam. Itu benar, kisah ini tentang contoh bersabar menghadapi orang2 yg membenci kita. Tetapi ada satu sisi yang mungkin patut kita pahami dan kita lupakan--padahal itu yang boleh jadi paling relevan bagi kita.

Hei, saya termenung lama, dan memikirkan, bahwa jangan2 kitalah pengemis fakir, buta, dan kotor sekali kalimat2nya. Jangan2 kitalah orang yang sudah fakir, jelek, menyusahkan orang banyak, tapi kotor sekali kalimat kita. Kemana2 berucap keburukan, menjelek2an orang lain, menghina orang lain, bergunjing, tiada manfaat ucapan kita, dan sama sekali tidak menyadari posisi kita tersebut, sementara orang lain terus memberikan kebaikan kepada kita--setidaknya Allah selalu baik kepada kita dengan membiarkan kita terus bisa bernafas. Pengemis itu beruntung, akhirnya tahu kebenaran terang benderang di depannya, nah, boleh jadi, kita sampai mati tidak tahu.

Jadi, kalau kita tidak bisa meneladani rasa sabar Nabi yang amat kita cintai, pastikan kelakuan kita tidak seperti pengemis tersebut. Dia memang buta matanya, jadi punya keterbatasan untuk tahu, tapi kita, boleh jadi buta hatinya.

(II) Kisah jual beli kambing

Saya masih punya satu lagi kisah yang boleh jadi cara memahaminya juga berbeda.

Kisah ini favorit sekali digunakan oleh orang2 yang suka bilang: "tentu saja kita boleh untung 100%, toh ada kisahnya." Itu benar, memang ada kisahnya.

Jadi, seorang sahabat bernama Urwah, diberi uang sebesar 1 dinar oleh Nabi untuk membeli kambing. Nah, oleh Urwah, uang tersebut dibelikan dua ekor kambing. Ketika kambing itu dibawa, di tengah perjalanan, ada orang yang menawarnya 1 dinar untuk 1 ekor kambing. Urwah menjualnya, dia untung 100%, bukan? Urwah membawa 1 ekor kambing sisanya serta 1 dinar kepada Rasul Allah, menceritakan hal tersebut kepada Rasul Allah, maka Rasul berkata: "Ya Allah, berkatilah Urwah dalam perniagaan."

Itu benar, benar sekali, bahwa kita boleh untung 100%. Sah. Tapi saya memahaminya dengan sudut pandang berbeda. Menurut hemat saya, bahwa transaksi tersebut terjadi, karena ada yang bersedia menjual dua ekor kambing seharga 1 dinar kepada Urwah. Nah, catat baik2: karena ada yang BERSEDIA menjual dua ekor kambing seharga 1 dinar. Boleh dong saya untung 100%? Catat lagi baik2 kalimat sebelumnya, kalau semua orang bilang boleh dong saya jual dgn untung 100%, maka tidak akan ada transaksi mulia tersebut. Ketika ada penjual yang lapang hati melepas dua ekor kambingnya dengan 1 dinar, maka situasi itu terjadi. Siapa yang harus lapang hati menjualnya, padahal dia tahu harga seekor kambing adalah 1 dinar? Silahkan jawab sendiri. Kalau kalian tidak mau, orang lain tidak mau, semua orang ngotot bilang boleh dong untung besar2an, jelas mentok sudah. Malah nggak ada yang untung sama sekali.

Saya lebih memahami kisah ini dengan pengertian, apapun bisa terjadi ketika seseorang berserah diri kepada Allah. Itu kisah betapa jika seseorang menyandarkan diri kepada Allah, maka yang tidak mungkin jadi mungkin. Bukan soal untung 100% yang favorit sekali bagi banyak orang. Urwah jelas membawa pulang 1 ekor kambing dan 1 dinar kepada Rasul Allah, dia tidak menyembunyikannya, meski Rasul Allah menyuruhnya membeli 1 ekor kambing dengan uang 1 dinar sebelumnya. Dia jujur, bisa saja dia kantongi 1 dinarnya.

Akan keliru sekali kalau orang memahami cerita ini sebagai alasan menaikkan harga semau2nya, merusak harga, menyimpan barang, mencari keuntungan di tengah susahnya orang banyak, dsbgnya dengan alasan: ah, kan orang juga beli, transaksinya sah, halal dong. Jadi meskipun tidak ada panduan untung berapa persen secara absolut dalam transaksi jual beli, tetap ada batasan2 yang harus dijaga. Dan toh, kita tahu persis apakah kita ini pedagang yang lurus, atau hanya menjadikan sunnah Rasul sebagai tameng dalam situasi tertentu.

Sebagai penutup, semua orang tentu berhak punya pendapat berbeda, tapi saya kira, dengan berusaha memahami sebuah riwayat secara komprehensif, tidak hanya ambil yang menyenangkan, pegang penjelasan yang oke buat saya, yg tidak oke nggak mau, maka kita akan lebih banyak mengambil hikmahnya. Pastikan, jika kalian punya pendapat berbeda, tidak perlu menulis panjang lebar komen di postingan ini, saya menyarankan agar menulis sendiri artikel di profile masing2, itu jelas akan lebih bermanfaat, akan membuat semua orang berlatih menulis secara lengkap, hati2, melakukan riset, dsbgnya, tidak sekadar memuntahkan komen.

*Tere Lije

Selasa, 28 Mei 2013

DETIK DETIK KEPERGIAN RASULULLAH SAW



Bismillahirrahmaanirrahiim

Pagi itu Rasulullah dengan suara terbata-bata berkutbah, " Wahai umat ku. kita semua dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih_Nya, maka taat dan bertaqwala kepada_Nya. Ku wariskan dua perkara kepada kalian, Al Qur'an dan Sunnahku. Siapa yang mencintai Sunnahku, berarti mencintaiku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan masuk surga bersama-sama aku"

Kutbah singkat itu di akhiri dengan pandangan mata rasulullah yang tenang dan penuh minat menatap satu persatu sahabatnya. Abu bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar menahan nafas dan tangisnya. Usman menghela nafas panjang. Ali menundukkan kepala.

Isyarat telah datang, saatnya telah tiba, " Rasulullah akan meninggalkan kita semua" keluh hati sahabat. Manusia tercinta itu, hampi selesai tunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu makin kuat. Ali dengan cekatan memeluk rasululloh yang lemah dan goyah ketika turun dari mimbar.

Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah rasululloh masih tertutup. Di dalamnya rasul terbaring lemah dengan kening berkeringat membasahi pelepah kurma alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar salam, "bolehkah saya masuk?'
tanyanya.

Fatimah tak mengijinkan masuk. "Maafkan ayahku sedang demam."

Ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya, "siapakah itu wahai anakku" "Tak taulah ayahku, sepertinya baru kali ini aku melihatnya" tutur Fatimah lembut.

Rasul menatap putrinya dengan pandangan yang mengetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah putrinya hendak di kenangnya.

" Ketahuilah. Dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara. Dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. dialah malaikul maut" kata rasululloh. Fatimahpun menahan ledakan tangisnya.

Ketika malaikat maut datang mendekat, rasul menanyakan kenapa jibril tidak menyertainya. Kemudian di panggilah jibril yang sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah" tanya rasul dengan suara yang teramat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka. para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Ternyata itu tidak membuat rasul lega. Matanya masih penuh gambaran kecemasan.

" Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" tanya jibril.

" Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

" Jangan khawatir ya rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepada ku, Ku haramkan surga bagi siapa saja, kecuali umat muhammad telah berada di dalamnya" kata jibril.

Detik-detik semakin dekat. Saatnya Izrail melakukan tugasnya. Perlahan ruh rasulullah di tarik. Nampak sekujur tubuh rasul bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini" rasulullah mengaduh lirih. Fatimah terpejam. Ali yang berada di sampingnya menunduk semakin dalam. Jibril memalingkan muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" tanya rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapa yang sanggup melihat kekasih Allah di renggut ajal," kata Jibril. Kemudian terdengar rasul memekik karena sakit yang tak tertahankan. "Ya Allah, dasyat nian maut ini, timpahkan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku".

Badan rasul mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya, " Uushikum bis shalati, wa maa malakat aymanukum. Peliharalah sholat dan peliharalah orang-orang lemah diantara kamu"

Di luar pintu tangispun mulai terdengar bersahutan. Sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya. Dan Ali kembali mendekatkan telinga di bibir rasul yang mulai kebiruan, " Ummatii..., ummatii...., ummatii...,"

Berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi."

Wallahu a'lam
______________________________________________________
Jika menurut kalian, artikel ini bermanfaat.
SilaHkan di-share untuk teman Anda, sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun.
semoga Anda juga mendapatkan balasan pahala yang berlimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Aamiin Ya rabbal 'alamiin

Bismillah.. Gabung Yuk di Fp ini : Kaligrafi untuk membaca : "Kisah Perjalanan Cinta yang Mengharukan"