*Kisah pengemis dan jual beli kambing
(I) Kisah pengemis
Orang2 pasti tahulah cerita, ketika Abu Bakar bertanya pada Aisyah
anaknya, kira-kira sunnah Rasul apa yang belum dia kerjakan sepeninggal
Rasul wafat. Kata Aisyah, ada satu, Rasul Allah setiap pagi memberi
makan seorang pengemis buta yang duduk di ujung pasar. Abu Bakar
mengangguk, maka dia datang menemui pengemis buta itu.
Nah, pengemis ini, saat Abu Bakar beranjak ke dekatnya, memberikan makan, langsung bertanya marah, "Siapakah kamu?"
Abu Bakar menjawab, "Aku orang yang biasa."
Pengemis buta ini bilang, sambil marah, "Kamu bukan orang yang biasa.
Orang yang biasa memberi aku makan, selalu menyuapkan makanan kepadaku,
makanannya juga dihaluskan terlebih dahulu."
Maka Abu Bakar
sambil menangis menjelaskan, kalau dia memang bukan orang yang biasanya.
Orang yang dimaksud oleh pengemis itu, Rasul Allah, sudah meninggal
beberapa hari lalu.
Nah, cerita ini menjadi amat mengharukan,
karena pengemis ini, maaf, sudah miskin, maaf, jelek, maaf, buta, selama
ini kasar sekali kepada Rasul Allah. Dia suka bilang ke orang2 yang
memberinya, bilang kalau Muhammad itu tukang sihir, tukang bohong. Tidak
terbilang kebencian kalimatnya. Tidak terbilang fitnah, hinaan, makian
dia berikan kepada Rasul Allah, tanpa tahu sedikit pun bahwa orang yang
memberinya makan, menyuapinya, justeru adalah Rasul Allah sendiri.
Ah, kalian pasti tahu semua kisah ini.
Tapi kenapa saya menulis catatan ini, karena saya memahami kisah ini
dengan cara yang amat berbeda. Itu benar, kisah ini sungguh tentang rasa
sabar milik Nabi, teladan tiada tara, berkilau indah menerangi semesta
alam. Itu benar, kisah ini tentang contoh bersabar menghadapi orang2 yg
membenci kita. Tetapi ada satu sisi yang mungkin patut kita pahami dan
kita lupakan--padahal itu yang boleh jadi paling relevan bagi kita.
Hei, saya termenung lama, dan memikirkan, bahwa jangan2 kitalah
pengemis fakir, buta, dan kotor sekali kalimat2nya. Jangan2 kitalah
orang yang sudah fakir, jelek, menyusahkan orang banyak, tapi kotor
sekali kalimat kita. Kemana2 berucap keburukan, menjelek2an orang lain,
menghina orang lain, bergunjing, tiada manfaat ucapan kita, dan sama
sekali tidak menyadari posisi kita tersebut, sementara orang lain terus
memberikan kebaikan kepada kita--setidaknya Allah selalu baik kepada
kita dengan membiarkan kita terus bisa bernafas. Pengemis itu beruntung,
akhirnya tahu kebenaran terang benderang di depannya, nah, boleh jadi,
kita sampai mati tidak tahu.
Jadi, kalau kita tidak bisa
meneladani rasa sabar Nabi yang amat kita cintai, pastikan kelakuan kita
tidak seperti pengemis tersebut. Dia memang buta matanya, jadi punya
keterbatasan untuk tahu, tapi kita, boleh jadi buta hatinya.
(II) Kisah jual beli kambing
Saya masih punya satu lagi kisah yang boleh jadi cara memahaminya juga berbeda.
Kisah ini favorit sekali digunakan oleh orang2 yang suka bilang: "tentu
saja kita boleh untung 100%, toh ada kisahnya." Itu benar, memang ada
kisahnya.
Jadi, seorang sahabat bernama Urwah, diberi uang
sebesar 1 dinar oleh Nabi untuk membeli kambing. Nah, oleh Urwah, uang
tersebut dibelikan dua ekor kambing. Ketika kambing itu dibawa, di
tengah perjalanan, ada orang yang menawarnya 1 dinar untuk 1 ekor
kambing. Urwah menjualnya, dia untung 100%, bukan? Urwah membawa 1 ekor
kambing sisanya serta 1 dinar kepada Rasul Allah, menceritakan hal
tersebut kepada Rasul Allah, maka Rasul berkata: "Ya Allah, berkatilah
Urwah dalam perniagaan."
Itu benar, benar sekali, bahwa kita
boleh untung 100%. Sah. Tapi saya memahaminya dengan sudut pandang
berbeda. Menurut hemat saya, bahwa transaksi tersebut terjadi, karena
ada yang bersedia menjual dua ekor kambing seharga 1 dinar kepada Urwah.
Nah, catat baik2: karena ada yang BERSEDIA menjual dua ekor kambing
seharga 1 dinar. Boleh dong saya untung 100%? Catat lagi baik2 kalimat
sebelumnya, kalau semua orang bilang boleh dong saya jual dgn untung
100%, maka tidak akan ada transaksi mulia tersebut. Ketika ada penjual
yang lapang hati melepas dua ekor kambingnya dengan 1 dinar, maka
situasi itu terjadi. Siapa yang harus lapang hati menjualnya, padahal
dia tahu harga seekor kambing adalah 1 dinar? Silahkan jawab sendiri.
Kalau kalian tidak mau, orang lain tidak mau, semua orang ngotot bilang
boleh dong untung besar2an, jelas mentok sudah. Malah nggak ada yang
untung sama sekali.
Saya lebih memahami kisah ini dengan
pengertian, apapun bisa terjadi ketika seseorang berserah diri kepada
Allah. Itu kisah betapa jika seseorang menyandarkan diri kepada Allah,
maka yang tidak mungkin jadi mungkin. Bukan soal untung 100% yang
favorit sekali bagi banyak orang. Urwah jelas membawa pulang 1 ekor
kambing dan 1 dinar kepada Rasul Allah, dia tidak menyembunyikannya,
meski Rasul Allah menyuruhnya membeli 1 ekor kambing dengan uang 1 dinar
sebelumnya. Dia jujur, bisa saja dia kantongi 1 dinarnya.
Akan keliru sekali kalau orang memahami cerita ini sebagai alasan
menaikkan harga semau2nya, merusak harga, menyimpan barang, mencari
keuntungan di tengah susahnya orang banyak, dsbgnya dengan alasan: ah,
kan orang juga beli, transaksinya sah, halal dong. Jadi meskipun tidak
ada panduan untung berapa persen secara absolut dalam transaksi jual
beli, tetap ada batasan2 yang harus dijaga. Dan toh, kita tahu persis
apakah kita ini pedagang yang lurus, atau hanya menjadikan sunnah Rasul
sebagai tameng dalam situasi tertentu.
Sebagai penutup, semua
orang tentu berhak punya pendapat berbeda, tapi saya kira, dengan
berusaha memahami sebuah riwayat secara komprehensif, tidak hanya ambil
yang menyenangkan, pegang penjelasan yang oke buat saya, yg tidak oke
nggak mau, maka kita akan lebih banyak mengambil hikmahnya. Pastikan,
jika kalian punya pendapat berbeda, tidak perlu menulis panjang lebar
komen di postingan ini, saya menyarankan agar menulis sendiri artikel di
profile masing2, itu jelas akan lebih bermanfaat, akan membuat semua
orang berlatih menulis secara lengkap, hati2, melakukan riset, dsbgnya,
tidak sekadar memuntahkan komen.
*Tere Lije