Rabu, 29 Mei 2013

Kisah Inspirasi BGT

*Kisah pengemis dan jual beli kambing

(I) Kisah pengemis

Orang2 pasti tahulah cerita, ketika Abu Bakar bertanya pada Aisyah anaknya, kira-kira sunnah Rasul apa yang belum dia kerjakan sepeninggal Rasul wafat. Kata Aisyah, ada satu, Rasul Allah setiap pagi memberi makan seorang pengemis buta yang duduk di ujung pasar. Abu Bakar mengangguk, maka dia datang menemui pengemis buta itu.

Nah, pengemis ini, saat Abu Bakar beranjak ke dekatnya, memberikan makan, langsung bertanya marah, "Siapakah kamu?"

Abu Bakar menjawab, "Aku orang yang biasa."

Pengemis buta ini bilang, sambil marah, "Kamu bukan orang yang biasa. Orang yang biasa memberi aku makan, selalu menyuapkan makanan kepadaku, makanannya juga dihaluskan terlebih dahulu."

Maka Abu Bakar sambil menangis menjelaskan, kalau dia memang bukan orang yang biasanya. Orang yang dimaksud oleh pengemis itu, Rasul Allah, sudah meninggal beberapa hari lalu.

Nah, cerita ini menjadi amat mengharukan, karena pengemis ini, maaf, sudah miskin, maaf, jelek, maaf, buta, selama ini kasar sekali kepada Rasul Allah. Dia suka bilang ke orang2 yang memberinya, bilang kalau Muhammad itu tukang sihir, tukang bohong. Tidak terbilang kebencian kalimatnya. Tidak terbilang fitnah, hinaan, makian dia berikan kepada Rasul Allah, tanpa tahu sedikit pun bahwa orang yang memberinya makan, menyuapinya, justeru adalah Rasul Allah sendiri.

Ah, kalian pasti tahu semua kisah ini.

Tapi kenapa saya menulis catatan ini, karena saya memahami kisah ini dengan cara yang amat berbeda. Itu benar, kisah ini sungguh tentang rasa sabar milik Nabi, teladan tiada tara, berkilau indah menerangi semesta alam. Itu benar, kisah ini tentang contoh bersabar menghadapi orang2 yg membenci kita. Tetapi ada satu sisi yang mungkin patut kita pahami dan kita lupakan--padahal itu yang boleh jadi paling relevan bagi kita.

Hei, saya termenung lama, dan memikirkan, bahwa jangan2 kitalah pengemis fakir, buta, dan kotor sekali kalimat2nya. Jangan2 kitalah orang yang sudah fakir, jelek, menyusahkan orang banyak, tapi kotor sekali kalimat kita. Kemana2 berucap keburukan, menjelek2an orang lain, menghina orang lain, bergunjing, tiada manfaat ucapan kita, dan sama sekali tidak menyadari posisi kita tersebut, sementara orang lain terus memberikan kebaikan kepada kita--setidaknya Allah selalu baik kepada kita dengan membiarkan kita terus bisa bernafas. Pengemis itu beruntung, akhirnya tahu kebenaran terang benderang di depannya, nah, boleh jadi, kita sampai mati tidak tahu.

Jadi, kalau kita tidak bisa meneladani rasa sabar Nabi yang amat kita cintai, pastikan kelakuan kita tidak seperti pengemis tersebut. Dia memang buta matanya, jadi punya keterbatasan untuk tahu, tapi kita, boleh jadi buta hatinya.

(II) Kisah jual beli kambing

Saya masih punya satu lagi kisah yang boleh jadi cara memahaminya juga berbeda.

Kisah ini favorit sekali digunakan oleh orang2 yang suka bilang: "tentu saja kita boleh untung 100%, toh ada kisahnya." Itu benar, memang ada kisahnya.

Jadi, seorang sahabat bernama Urwah, diberi uang sebesar 1 dinar oleh Nabi untuk membeli kambing. Nah, oleh Urwah, uang tersebut dibelikan dua ekor kambing. Ketika kambing itu dibawa, di tengah perjalanan, ada orang yang menawarnya 1 dinar untuk 1 ekor kambing. Urwah menjualnya, dia untung 100%, bukan? Urwah membawa 1 ekor kambing sisanya serta 1 dinar kepada Rasul Allah, menceritakan hal tersebut kepada Rasul Allah, maka Rasul berkata: "Ya Allah, berkatilah Urwah dalam perniagaan."

Itu benar, benar sekali, bahwa kita boleh untung 100%. Sah. Tapi saya memahaminya dengan sudut pandang berbeda. Menurut hemat saya, bahwa transaksi tersebut terjadi, karena ada yang bersedia menjual dua ekor kambing seharga 1 dinar kepada Urwah. Nah, catat baik2: karena ada yang BERSEDIA menjual dua ekor kambing seharga 1 dinar. Boleh dong saya untung 100%? Catat lagi baik2 kalimat sebelumnya, kalau semua orang bilang boleh dong saya jual dgn untung 100%, maka tidak akan ada transaksi mulia tersebut. Ketika ada penjual yang lapang hati melepas dua ekor kambingnya dengan 1 dinar, maka situasi itu terjadi. Siapa yang harus lapang hati menjualnya, padahal dia tahu harga seekor kambing adalah 1 dinar? Silahkan jawab sendiri. Kalau kalian tidak mau, orang lain tidak mau, semua orang ngotot bilang boleh dong untung besar2an, jelas mentok sudah. Malah nggak ada yang untung sama sekali.

Saya lebih memahami kisah ini dengan pengertian, apapun bisa terjadi ketika seseorang berserah diri kepada Allah. Itu kisah betapa jika seseorang menyandarkan diri kepada Allah, maka yang tidak mungkin jadi mungkin. Bukan soal untung 100% yang favorit sekali bagi banyak orang. Urwah jelas membawa pulang 1 ekor kambing dan 1 dinar kepada Rasul Allah, dia tidak menyembunyikannya, meski Rasul Allah menyuruhnya membeli 1 ekor kambing dengan uang 1 dinar sebelumnya. Dia jujur, bisa saja dia kantongi 1 dinarnya.

Akan keliru sekali kalau orang memahami cerita ini sebagai alasan menaikkan harga semau2nya, merusak harga, menyimpan barang, mencari keuntungan di tengah susahnya orang banyak, dsbgnya dengan alasan: ah, kan orang juga beli, transaksinya sah, halal dong. Jadi meskipun tidak ada panduan untung berapa persen secara absolut dalam transaksi jual beli, tetap ada batasan2 yang harus dijaga. Dan toh, kita tahu persis apakah kita ini pedagang yang lurus, atau hanya menjadikan sunnah Rasul sebagai tameng dalam situasi tertentu.

Sebagai penutup, semua orang tentu berhak punya pendapat berbeda, tapi saya kira, dengan berusaha memahami sebuah riwayat secara komprehensif, tidak hanya ambil yang menyenangkan, pegang penjelasan yang oke buat saya, yg tidak oke nggak mau, maka kita akan lebih banyak mengambil hikmahnya. Pastikan, jika kalian punya pendapat berbeda, tidak perlu menulis panjang lebar komen di postingan ini, saya menyarankan agar menulis sendiri artikel di profile masing2, itu jelas akan lebih bermanfaat, akan membuat semua orang berlatih menulis secara lengkap, hati2, melakukan riset, dsbgnya, tidak sekadar memuntahkan komen.

*Tere Lije

Tidak ada komentar:

Posting Komentar